Batam, Inibatam – Ketua DPP Nasional Corruption Watch (NCW), Hanifa Sutrisna, mengungkap sejumlah kejanggalan terkait Proyek Eco-City di Pulau Rempang, Batam. Kejanggalan utama adalah soal sosok investor, Xinyi Glass dengan nilai investasi US$11,5 miliar atau setara Rp175 triliun.
Berdasarkan hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi oleh NCW adalah soal track record atau rekam jejak Xinyi Glass Holdings Ltd dalam memenuhi komitmen investasinya, terutama terkait proyek di Bangka Selatan dan Gresik.
Di Bangka, Xinyi Glass telah membuat MoU serupa dengan Kawasan Industri Sadai di Bangka pada tahun 2020 dengan janji investasi sekitar US$ 6-7 miliar. Investasi ini direncanakan untuk pengolahan mineral tambang pasir kuarsa di Belitung.
Namun, setelah MoU disepakati, Xinyi Glass seolah menghilang tanpa kabar berita. Alasan yang diberikan adalah ketidaktersediaan pasokan gas di kawasan Bangka Belitung Industrial Estate, Sadai, Bangka Selatan.
Selain itu, komitmen investasi Xinyi Glass senilai US$ 700 juta di Gresik, Jawa Timur pada tahun 2022 juga menimbulkan keraguan. Xinyi Glass menjalin kerja sama dengan PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera (BKMS) untuk membeli lahan yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik kaca.
Namun, progres investasi ini menjadi tidak jelas karena dugaan terkait kemampuan keuangan Xinyi Glass yang dirinci dalam laporan keuangan konsolidasi Xinyi Glass Holdings Limited tahun 2022 yang diaudit oleh EY Ernst & Young’s.
Hanifa menegaskan, “Hasil laporan keuangan E&Y ini membantah jika disebut Xinyi Group adalah perusahaan berkelas dunia dengan dominasi pasar global. Faktanya, 68 persen penjualan Xinyi Glass berada di pasar lokal China, bukan pasar global.”
Kejanggalan ini memunculkan pertanyaan bagaimana Xinyi Group dapat berinvestasi hingga US$ 11,5 miliar dan apakah investasi ini hanya bertujuan untuk memengaruhi harga saham Xinyi Glass Holding Limited.
Amdal Belum Dibuat
Selain itu, seperti dikutip wartakota, Selasa (3/10/2023), NCW juga menyoroti masalah seputar Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Eco City Rempang yang belum selesai. Indikasi ketidakselesaiannya terlihat dari undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam mengenai Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen AMDAL Kawasan Rempang Eco City.
Hanifa juga mencatat bahwa pernyataan Menteri Investasi Bahlil yang menyatakan hanya 20 persen masyarakat Rempang yang tidak setuju dengan pemindahan tidak sesuai dengan fakta lapangan.
Menurut data yang dikumpulkan dari sumber terpercaya dan pengaduan masyarakat kepada DPP NCW, 80 persen masyarakat Pulau Rempang yang memiliki hak atas tanah menolak untuk dipindahkan atau direlokasi.
Terkait dengan pembiayaan relokasi dan penggusuran tanah masyarakat Pulau Rempang yang belum dialokasikan oleh pemerintah pusat atau BP Batam, Hal ini menciptakan ketidakpastian terkait pemindahan.
Hanifa juga menyoroti pernyataan Kepala BP Batam mengenai uang wajib tahunan (UWT) yang belum diselesaikan. Konsesi telah diserahkan kepada PT Makmur Elok Graha, dan hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai hitungan UWT yang seharusnya dibayar.
Semua temuan ini menciptakan ketidakpastian dan pertanyaan terkait Proyek Eco-City di Pulau Rempang yang perlu dijawab oleh pihak terkait.