Jakarta, Inibatam – Anggota Komisi VI DPR, Nusron Wahid, mengungkapkan keprihatinannya terkait tindakan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Aksi BP Batam sudah menyerupai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan mengklaim tanah di Pulau Rempang secara sepihak.
Hal itu diucapkan Nusron dalam Rapat Kerja Komisi VI dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Kepala BP Batam Muhammad Rudi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (2/10/2023).
Nusron Wahid menyoroti penerbitan Kepres Nomor 28 Tahun 1992 yang mengatur wilayah Pulau Rempang. Ia mempertanyakan apakah sebelum terbitnya keputusan tersebut, sudah ada penduduk yang mendiami Pulau Rempang.
Menurut politikus Golkar ini, bangunan milik warga telah berdiri di Pulau Rempang sejak tahun 1830.
“Terus di mana logika dan nilai kemanusiannya hanya selembar Kepres Nomor 28 Tahun 1992, wilayah penduduk tanahnya yang sudah diduduki kemudian dianggap menjadi tanah negara,” tegas Nusron Wahid.
Nusron menyatakan keprihatiannya bahwa Kepres tersebut berpotensi dianggap sebagai penyerobotan hak-hak tanah rakyat oleh negara, kecuali jika tanah tersebut tidak ditempati oleh warga atau berada di tanah kosong.
Dilansir tempo, Senin (2/10/2023), Nusron mengungkapkan, warga Pulau Rempang telah tinggal di sana sebelum terbitnya Kepres Nomor 28 Tahun 1992. Bahkan, mereka sudah berada di pulau tersebut sebelum adanya pemerintah kota dan sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka telah memberikan kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan.
Nusron Wahid menekankan pentingnya pemerintah untuk memilah tanah yang telah ditempati oleh warga dan yang belum. Hal ini penting agar tanah yang telah lama didiami oleh penduduk tidak dianggap sebagai wilayah otoritas Batam tanpa pertimbangan yang tepat.
Ia juga menyatakan keprihatinannya bahwa jika klaim tanah tersebut dilakukan secara sepihak, BP Batam bisa disamakan dengan tindakan VOC yang pada masa lalu mengklaim tanah tanpa memperhatikan hak-hak warga yang telah tinggal di sana.
Nusron Wahid mengakhiri dengan pertanyaan retoris, “Apa jangan-jangan BP Batam pun masih memandang mereka adalah inlander yang enggak punya hak sama dengan warga negara lain.”