Batam, Inibatam – Perselisihan terus berkembang di Laut China Selatan, memunculkan ketegangan yang semakin meningkat antara China dan negara-negara anggota ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia.
Malaysia baru-baru ini menolak sebuah peta yang dikeluarkan oleh China yang mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk wilayah Indonesia.
Wilayah Laut China Selatan memiliki nilai strategis yang besar bagi China, yang mengakibatkan perselisihan ini semakin meruncing.
Pada tahun 2016, pengadilan arbitrase PBB telah memutuskan bahwa klaim China terhadap wilayah ini, yang dikenal sebagai “sembilan garis putus-putus,” tidak berdasarkan hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
Selama beberapa tahun terakhir, China juga telah membangun pulau buatan di Laut China Selatan, terutama di dekat Filipina, serta mendirikan pos militer. Tidak hanya Filipina, tetapi juga Vietnam dan Brunei merasa terancam oleh klaim tersebut.
Malaysia telah secara tegas menolak klaim sembilan garis putus milik China yang mencakup wilayah maritim Malaysia, termasuk bagian Sabah dan Sarawak.
Menteri Luar Negeri Malaysia menyatakan, “Malaysia tidak mengakui klaim China terhadap Laut China Selatan yang tercantum dalam peta China edisi 2023, yang telah memperluas klaimnya hingga ke wilayah maritim Malaysia.”
Klaim sembilan garis putus yang tercantum dalam peta China ini mengacu pada catatan sejarah pada masa Dinasti Xia yang hampir berusia 4 ribu tahun. Namun, klaim ini semakin memperumit ketegangan di kawasan tersebut.
Bukan hanya negara-negara ASEAN yang menentang peta baru yang dikeluarkan oleh China, India juga telah menyampaikan protes terhadap klaim tersebut. Pada peta tersebut, China mengklaim wilayah India seperti Arunachal Pradesh dan Dataran Tinggi Aksai China.
Pihak Beijing menanggapi dengan menyatakan bahwa peta tersebut mencerminkan kedaulatan China sesuai dengan hukum, dan meminta semua pihak untuk tidak menafsirkannya secara berlebihan.