Jakarta, Inibatam – Tidak kurang dari 7 ribu penduduk Pulau Rempang, di Provinsi Kepulauan Riau, saat ini menghadapi ancaman besar atas hak kepemilikan tanah mereka akibat rencana pengembangan kawasan Pulau Rempang menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.
Rencana ini mendukung proyek investasi bernama Rempang Eco City, yang dikelola oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan nilai investasi yang mencapai Rp 381 triliun dan melibatkan lahan seluas 17 ribu hektar.
Dalam rangka mendukung proyek investasi Rempang Eco City yang dijalankan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang yang kontroversial.
Keputusan ini mengeksploitasi konsep domein verklaring (negaraisasi tanah), yang dianggap oleh sebagian masyarakat bertentangan dengan prinsip Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengakui hak-hak warga atas tanah.
Tindakan penggusuran ini menuai perlawanan dan demonstrasi dari masyarakat Pulau Rempang selama dua bulan terakhir.
Meskipun dalam waktu yang sama, Pemerintah Indonesia Tengah menggelar GTRA Summit 2023 yang bertujuan untuk memperkuat kepastian hak kepemilikan tanah bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, paradoks terlihat ketika masyarakat Pulau Rempang justru menghadapi ancaman kehilangan hak atas tanah mereka akibat investasi pemerintah.
Annisa Azzahra dari Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menyoroti keterlibatan aparat keamanan dalam kasus-kasus perampasan tanah, yang mengesampingkan keberpihakan pada masyarakat dan mengancam tempat tinggal mereka
Hal ini menunjukkan dukungan penuh negara terhadap investasi skala besar, tanpa mempertimbangkan hak-hak warga yang telah menempati tanah tersebut selama turun temurun.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, menggarisbawahi dampak negatif investasi skala besar pada masyarakat pulau kecil.
Keterbatasan sumber daya alam dan ruang pada pulau-pulau kecil memperburuk risiko bencana dan meningkatkan potensi pengungsi ekologis. Investasi besar yang diarahkan pada tanah-tanah masyarakat pulau kecil juga mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Erwin Suryana, Deputi Advokasi dan Riset Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), mengingatkan pentingnya melihat ulang pelaksanaan Reforma Agraria dan dukungan pemerintah terhadap investasi besar. Hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan tanah harus lebih dihormati dan dilindungi.
Masyarakat sipil dan kelompok advokasi menekankan perlunya kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan tanah.
Investasi skala besar harus diimbangi dengan perlindungan hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan, agar pembangunan ekonomi tidak merugikan masyarakat lokal dan mengancam ekosistem.