Batam, Inibatam – Pulau Rempang, salah satu dari banyak pulau di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), seluas 165 km persegi, telah menjadi topik pembicaraan hangat di seluruh Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Isu ini berkaitan dengan rencana mendirikan sebuah pabrik besar dengan modal asing di pulau tersebut, yang diharapkan akan membawa perubahan signifikan dalam kehidupan penduduk setempat dan mengubah wajah Rempang menjadi lebih modern.
Perdebatan tentang status penduduk Pulau Rempang telah mencuat di media dan platform media sosial. Ada pendapat yang menyatakan bahwa mereka adalah pendatang, sementara yang lain bersikeras bahwa mereka adalah penduduk asli pulau tersebut.
Terlepas dari perdebatan ini, isu yang lebih besar muncul, yaitu tentang politik pembangunan di Indonesia yang mendukung investasi asing dan bagaimana hal ini sering kali mengabaikan hak-hak rakyatnya sendiri.
Untuk memahami situasi ini dengan lebih baik, kita perlu melihat sejarah panjang Pulau Rempang. Pada tanggal 4 Februari 1930, seorang pejabat Belanda bernama P. Wink melakukan kunjungan ke Pulau Rempang.
Saat itu, wilayah Tanjung Pinang termasuk salah satu onderafdeeling (subdivisi administratif) di bawah Residentie Riaouw en Onderhoorigheden (Keresidenan Riau dan Wilayah-wilayah Taklukannya) dengan ibukotanya Tanjung Pinang. Wilayah ini mencakup sejumlah pulau, termasuk Pulau Bintan, Rempang, Galang, Batam, serta beberapa pulau kecil di sekitarnya.
Dalam laporannya yang diterbitkan dalam Tijdscrift voor Indische Taal-, Land, en Volkenkunde, P. Wink menyebut bahwa Pulau Rempang telah dihuni oleh kelompok suku yang disebutnya “orang Darat.”
Namun, sekitar 80 tahun sebelumnya, Residen Riouw, E. Netscher, telah mencatat kelompok suku yang tinggal di Pulau Rempang dengan sebutan “orang Benoea.” Peneliti lain juga menyebut mereka sebagai “orang Oetan.”
Laporan ini mengindikasikan bahwa nenek moyang penduduk Pulau Rempang berasal dari Pulau Batam, dan dari segi bahasa dan beberapa unsur budaya, mereka memiliki hubungan genealogis dengan orang Jakun yang tinggal di Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia).
Abad ke 19 Pulau Rempang jadi Kebun Gambir
Laporan sejarah dan penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, tanah di Pulau Rempang telah digunakan untuk penanaman gambir, dan pendatang Cina terlibat dalam perdagangan produk ini.
Walau terselip di antara taburan pulau-pulau yang lusinan jumlahnya di Kepulauan Riau, Pulau Rempang tidak dianggap sepele oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada masa lampau. Ini antara lain dapat dikesan dari penamaan sebuah kapal yang dioperasikan oleh maskapai pelayaran Stoomvaart Maatschappij Nederland. ‘S.s./stoomschip Rempang’ dioperasikan oleh perusahaan ini tahun 1947 sampai 1968.
Bahkan dalam Atlas Sekolah Hindia Nederland oleh W. van Gelder (lihat misalnya edisi 1919; cet. ke-10), Pulau Rempang dicatat sebagai salah satu pulau yang penting di Riau agar dapat diketahui oleh murid-murid sekolah. Dan sejak 1880an, selat yang memisahkan Pulau Setoko dan Pulau Rempang sudah menjadi laluan kapal penumpang dan barang dari Selatan ke Utara, tepat keluar dekat Tanjung Piajoe.
Kamp Konsentrasi Jepang
Di masa pendudukan Jepang, di Pulau Rempang dibangun kamp konsentrasi yang luas oleh tentara Jepang. “Op de Rempang-eilanden wordt een kamp voor Japansche krijgsgevangenen ingericht; er is plaats voor 230.000. De plaatselijke bevolking is geëvacueerd en wordt schadeloos gesteld” (Sebuah kamp tawanan perang Jepang didirikan di Kepulauan Rempang; ada ruang untuk 230.000 orang. Penduduk setempat telah dievakuasi dan diberi kompensasi), tulis surat kabar Vrij Nederland, 6de Jrg. No. 20, 8 Desember 1945.
Laporan koran Vrij Nederland yang berbasis di London itu membuat kita berefleksi: jika militer fasis Jepang saja memberi kompensasi kepada penduduk Rempang yang dievakuasi pada 1945 karena pembangunan kamp konsentrasi, kiranya sangat keterlaluan jika setelah 78 tahun merdeka penduduk pulau itu dipaksa pergi dengan kekerasan, jauh dari sikap persuasi, oleh pemerintahnya sendiri.