Gaza, Inibatam – Diana Tarazi dan keluarganya, bersama dengan komunitas Kristen di Jalur Gaza, menghadapi ancaman serius terhadap kelangsungan hidup mereka selama serangan Israel terus berlanjut.
Pada 19 Oktober, Gereja Saint Porphyrius, yang menjadi tempat perlindungan bagi mereka, menjadi sasaran bom Israel. Gereja tertua di Gaza itu hancur. Sebanyak 18 orang tewas.
Dalam kondisi konflik yang semakin memanas, Tarazi, perempuan Kristen Palestina berusia 38 tahun, suami dan tiga anaknya bersama umat Kristen Palestina lainnya, bersatu dengan tetangga dan teman-teman Muslim, mencoba bertahan di Gereja Holy Family. Namun, rasa aman mereka sirna, dan ketidakpastian akan masa depan komunitas Kristen di Gaza semakin menguat.
“Kami tidak menerima pengungsian dari negara kami, tanah kami, dan gereja kami. Saya tidak akan meninggalkan gereja kecuali ke alam kubur,” kata Tarazi, menolak untuk meninggalkan tanah kelahirannya.
Komunitas Kristen Tertua
Dalam konflik ini, komunitas Kristen di Gaza, yang merupakan salah satu komunitas Kristen tertua di dunia sejak abad pertama, terancam punah.
Pendeta Lutheran Evangelis Mitri Raheb mengungkapkan keprihatinan bahwa generasi ini bisa menjadi akhir dari sejarah panjang agama Kristen di Gaza.
“Saya tidak yakin apakah mereka akan selamat dari pemboman Israel. Bahkan jika mereka selamat, saya rasa banyak dari mereka yang ingin pindah,” ujar Raheb.
Sejarah Kristen di Palestina sangat kaya, terutama di Gaza yang pernah menjadi pusat misi Kristen utama pada abad keempat. Namun, dengan serangan terus-menerus dan ketidakpastian, komunitas Kristen di Gaza menghadapi risiko kepunahan.
Populasi Terus Menurun
Perkiraan menunjukan, jumlah umat Kristen di Gaza menurun dalam beberapa tahun terakhir. Angka tercatat pada tahun 2007 sekitar 3.000 orang. Namun angka ini diperkirakan sudah jauh berkurang tahun ini.
Di sisi lain, di Tepi Barat, meskipun jumlah umat Kristen lebih besar, mereka juga menghadapi kekhawatiran terkait kekerasan dan penganiayaan. Serangan terhadap gereja dan pendeta meningkat, menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi komunitas Kristen. Jumlah umat Kristen di Tepi Barat sekitar 47 ribu orang.
Raheb menyoroti serangan terhadap Pemakaman Protestant Mount Zion dan bar Armenia di Kota Tua Yerusalem sebagai contoh ketegangan yang terus meningkat.
Pada 1 Januari, beberapa hari setelah Israel dipimpin pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah negara itu, dua pria tak dikenal masuk ke Pemakaman Protestant Mount Zion di Yerusalem dan menodai lebih dari 30 kuburan. Mereka mendorong batu nisan berbentuk salib dan menghancurkannya dengan batu.
Pada 26 Januari, sekelompok pemukim Israel menyerang sebuah bar Armenia di kawasan Kristen di Kota Tua Yerusalem. Para penyerang ini meneriakkan “Matilah orang Arab … Matilah orang Kristen.”
Menurut Raheb, serangan terus meningkat, seiring dengan upaya Israel untuk membungkam suara apa pun yang datang dari warga Palestina di dalam Israel.
“Mereka adalah pemukim teroris Yahudi, tetapi komunitas internasional tidak mengakui mereka sebagai pemukim karena mereka adalah bagian dari [pola pikir] kolonial yang sama,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa ancaman ini dapat mengusir agama Kristen dari Tanah Suci.
Dalam menghadapi tantangan ini, komunitas internasional dan pemerintah diminta untuk memastikan perlindungan terhadap keberagaman agama dan melibatkan diri dalam upaya perdamaian yang berkelanjutan.