Singapura di Ambang Penurunan Populasi: Resesi Seks dan Tingginya Biaya Hidup jadi Penyebab

Singapura di Ambang Penurunan Populasi: Resesi Seks dan Tingginya Biaya Hidup jadi Penyebab
Resesi seks dan tingginya biaya hidup membuat Singapura terancam penurunan populasi penduduk (ilustrasi/inibatam)

Batam, Inibatam – Singapura menghadapi tantangan serius dengan penurunan angka kelahiran yang semakin memprihatinkan. Hal ini dipicu oleh fenomena resesi seks yang semakin parah dan tingginya biaya hidup.

Penurunan ini adalah hasil dari faktor-faktor ekonomi dan perubahan sosial yang mempengaruhi minat pasangan untuk memiliki anak.

Pada tahun 2022, Singapura mencatat rekor terendah dalam angka kelahiran, dengan penurunan drastis sebesar 7,9%. Tingginya biaya hidup di negara Singa ini menjadi salah satu penyebab utama yang membuat banyak pasangan enggan untuk menambah anggota keluarga.

Selain biaya hidup yang tinggi, tren kesuburan pada perempuan juga ikut memengaruhi penurunan angka kelahiran.

Dilansir cncbindonesia, Sabtu (21/10/2023), data dari Departemen Statistik Singapura menunjukkan bahwa wanita berusia antara 25 dan 29 tahun kini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melahirkan dibandingkan dengan wanita berusia antara 35 hingga 39 tahun.

Jaya Dass, Direktur Pelaksana Ranstad Asia-Pasifik, menjelaskan, “Memiliki anak terkait dengan banyak hal – keterjangkauan rumah, pasangan, dan stabilitas pekerjaan yang membuat Anda merasa cukup aman untuk melakukannya. Daya tarik untuk memiliki anak sebenarnya telah berkurang secara signifikan karena kehidupan telah semakin matang dan berubah.”

Baca Juga  Singapura Bantah Podcast WSJ Soal Temuan Makanan Terkontaminasi dari Fukushima

Insentif dari Pemerintah Singapura

Untuk mengatasi penurunan angka kelahiran, Pemerintah Singapura telah mengeluarkan kebijakan insentif dan bonus yang signifikan untuk mendorong pasangan untuk memiliki anak.

Pasangan yang memiliki bayi yang lahir pada tanggal 14 Februari akan menerima bonus sebesar SG$11.000 (Rp123 juta) untuk anak pertama dan kedua, serta SG$13.000 (Rp146 juta) untuk anak ketiga dan seterusnya. Bonus ini mengalami peningkatan sebesar 30% hingga 37% dari sebelumnya.

Namun, analis di Economist Intelligence Unit (EIU), Wen Wei Tan, mengingatkan bahwa kebijakan insentif dan bonus mungkin tidak cukup untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya.

Penurunan angka kelahiran memerlukan pendekatan yang lebih luas, termasuk penanganan masalah demografis dan pembangunan kohesi sosial yang lebih baik.

Kota Termahal

Singapura, yang menduduki posisi sebagai kota termahal untuk ditinggali bersama Kota New York, AS pada tahun 2022, juga menghadapi masalah kekurangan perumahan bagi pasangan muda. Harga rumah terus meningkat, dan permintaan akan apartemen perumahan umum, atau flat HDB, terus melonjak, sementara pasokan masih kurang memadai.

Baca Juga  Lima dari 43 Pendemo yang Ditangkap Rusuh di BP Batam, Positif Narkoba

Mu Zheng, Asisten Profesor di National University of Singapore, menggarisbawahi bahwa selain biaya perumahan, masih banyak biaya lain yang terkait dengan membesarkan anak di Singapura.

Kondisi ini juga mencerminkan perubahan budaya di mana banyak pasangan lebih memilih untuk mengejar karier mereka terlebih dahulu sebelum menikah dan memiliki anak. Pilihan ini sebagian besar didorong oleh tuntutan pekerjaan dan ketidakstabilan ekonomi.

Dengan semakin banyaknya perempuan yang mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, mereka mungkin lebih selektif dalam memilih pasangan hidup mereka dan mempertimbangkan karier serta stabilitas finansial sebelum memutuskan untuk memiliki anak.

Tantangan penurunan angka kelahiran di Singapura adalah masalah yang kompleks yang memerlukan solusi holistik yang melibatkan berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi negara ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *