Solidaritas Nasional untuk Rempang Ungkap Temuan Pelanggaran HAM di Tragedi 7 September

Konflik Berdarah di Pulau Rempang: 82 LSM & Ormas Menuntut Pembatalan Proyek Kawasan Rempang Eco-City
Saat bentrok terjadi dan gas air mata dilepaskan, murid SD yang sedang belajar ketakutan dan mereka kemudian di evakuasi (tangkapan layar)

Batam, Inibatam – Solidaritas Nasional untuk Rempang baru-baru ini merilis laporan awal hasil investigasi mereka terkait peristiwa kekerasan yang terjadi pada 7 September 2023 di Pulau Rempang. Laporan ini mengungkap sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan dampak serius yang dialami masyarakat setempat.

Peristiwa Kekerasan di Pulau Rempang

Pada 7 September 2023, Pulau Rempang menjadi saksi sebuah tragedi yang melibatkan aparat gabungan termasuk Polisi Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Ditpam Badan Pengusahaan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kekerasan ini terjadi di Jembatan 4 Barelang, Kota Batam, Kepulauan Riau, dalam konteks aktivitas pematokan tanah sebagai bagian dari proyek Rempang Eco-City yang akan digarap oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG).

Investigasi dan Kendala

Solidaritas Nasional untuk Rempang yang terdiri dari sembilan LSM, seperti LBH, Walhi dan KontraS, melakukan investigasi intensif dari tanggal 11 hingga 13 September 2023. Mereka menghadapi sejumlah kendala, termasuk situasi yang tegang di Pulau Rempang selama kunjungan mereka. Beberapa kampung ditinggalkan penghuninya, kemungkinan akibat trauma yang dihasilkan oleh peristiwa pada tanggal 7 September 2023.

Baca Juga  PT Pertamina Naikkan Harga BBM Nonsubsidi Per 1 Oktober 2023: Harga Terbaru di Batam

Temuan Utama dan Pelanggaran HAM

Laporan awal tersebut mengungkapkan beberapa temuan utama:

Pengerahan Aparat Berlebihan: Penggunaan aparat keamanan secara berlebihan dengan setidaknya 60 kendaraan dan lebih dari 1010 personel. Hal ini menciptakan ketakutan di tengah masyarakat.

Penggunaan Kekuatan Berlebihan: Terdapat bukti penggunaan kekuatan berlebihan, termasuk penembakan gas air mata di lokasi yang dekat dengan fasilitas sipil seperti sekolah.

Pengusiran dan Relokasi: Warga di beberapa kampung mengalami pengusiran perlahan atas nama relokasi, dengan persyaratan yang meminta mereka untuk mendaftarkan diri dan membawa bukti kepemilikan tanah mereka.

Dampak Sosial Ekonomi: Peristiwa ini merugikan mata pencaharian masyarakat setempat, terutama nelayan yang kehilangan pekerjaan mereka.

Tuntutan Solidaritas Nasional untuk Rempang

Laporan tersebut menyoroti perlunya tindakan preventif untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa. Mereka mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City dan meninggalkan pendekatan yang melibatkan pengerahan aparat keamanan negara.

Baca Juga  Anggota DPR Nusron Wahid Sebut BP Batam Mirip VOC, Soroti Klaim Tanah di Pulau Rempang

Selain itu, pemulihan yang memadai bagi para korban baik secara fisik maupun psikologis juga menjadi prioritas. Laporan ini menekankan bahwa peristiwa ini harus dianggap sebagai pelanggaran HAM sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Sementara pemerintah berada di bawah tekanan untuk bertindak, laporan ini menekankan bahwa situasi di Pulau Rempang harus dipandang sebagai permasalahan serius yang, jika dibiarkan tanpa solusi, dapat memicu konflik lebih lanjut dan memperburuk situasi yang sudah tegang.

Solidaritas Nasional untuk Rempang terdiri; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), WALHI Riau, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Trend Asia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *